Masalah agraria sepanjang
zaman adalah masalah politik. siapa menguasai tanah, ia menguasai pangan atau
ia menguasai sarana-sarana kehidupan! siapa menguasai sarana kehidupan ia
menguasai manusia!
24 september 1960
presiden soekarno menandatangani Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA). UU ini
diyakini merupakan satu-satunya yang tersisa instrumen hukum yang berpihak
kepada kepentingan rakdjat. dalam amanat UU ini pemerintah mempunyai kewenangan
besar untuk mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai penjajah dan tuan tanah
secara berlebihan.segera saja, ribuan hektar tanah dibagikan secara merata
kepada rakyat miskin, petani, nelayan dan masyarakat adat, terutama di pulau
Jawa sebagai pilot project. selanjutnya, cita-cita UUPA ini adalah
mendistribusikan tanah secara langsung kepada kaum papah secara nasional dari
sabang sampai merauke.sayang konstelasi politik pada tahun 60-an tidak berpihak
pada Soekarno dan rezimnya, dengan campur tangan agen-agen asing Soekarno
dinonaktifkan, dengan G-30 S PKI, gerakan dewan jendral dan lain-lain. yang
akhirnya, beralih kepada Soeharto.ketika itulah ruh dari UUPA hilang UU ini
tidak dihapus, namun bermunculanlah UU pesanan asing. diantaranya UU pertambangan, UU
penanaman modal dan UU tentang hutan. ketiga UU ini pada prinsipnya
melanggengkan investasi asing secara besar-besaran menguasai tanah nusantara.
alhasil apa yang terjadi hingga hari ini? ribuan rakyat lapar, miskin tanpa
tanah di rumah mereka sendiri.
Perlawanan masyarakat
Bengkulu dengan PTPN VII yang telah merampas tanah mereka sejak 25 tahun yang
lalu hingga mengantarkan 20 rakyat Bengkulu mendekam di jeruji besi, tewasnya
ibu-ibu di Kuansing Riau oleh Brimob, pertambangan yang melanggar kaidah
lingkungan hidup adalah contoh kecil dari
ribuan konflik pertanahan.
Beberapa lembaga mencatat
konflik pertanahan di nusantara ini terbilang tinggi saat ini mencapai 7 ribu
kasus dengan pemenang terakhir mayoritas pengusaha kaya dan orang yang berduit.
terdapat kasus pelanggaran HAM berat, sedang dan ringan. turunan dari konflik
adalah kemiskinan yang menggurita ke segala sendi.
secara kuantitatif
setidaknya 44 persen penduduk Indonesia adalah petani (SPI 2009) jumlah ini
menunjukkan bahwa kebutuhan akan tanah sebagai modal utama bagi petani
sangatlah penting. fenomena ini semakin menggila ketika ribuan izin usaha
perkebunan skala besar dan pertambangan diberikan oleh pemerintah pusat dan
daerah.buruknya tata kelola dan niat baik terhadap pengaturan tanah untuk
rakyat ini semakin menipiskan ruang hidup bagi 237 juta jiwa rakyat Indonesia.
liahtlah Jakarta sebagai contoh bukan tempat yang baik lagi saat ini bagi ruang
hidup rakyat. polusi, pencemaran, banjir, kemiskinan semakin menjadi.memang
tidak ada harapan yang baik jika kita menggantungkan pada pengelola negara
ditengah tingginya kebebalan mereka pada kebenaran. sebagai rakyat tentunya
kita juga mempunyai jalan keluar bagi masalah ini. pertama, pemerintah pusat dan
daerah harus segera mengaktifkan badan otorita pertanahan. kedua, menjalankan
amanat PP 11 tahun 2010 tentang tanah terlantar. ketiga, meolak RUU pengadaan
tanah untuk pembangunan yang berpihak pada kepentingan investasi (kapitalis).
ditambah dengan niat tulus untuk negeri, tanpa ini semua, yang terjadi adalah
keniscayaan dan penzaliman!!!Jakarta --
Penuntasan masalah tanah dan pertanahan kerap kali berujung pada konflik
horisontal (antar sesama warga) dan konflik vertical (antara warga dengan
lembaga). Kebanyakan dari konflik tersebut, khususnya konflik vertikal warga
selalu kalah dalam penguasaan hak atastanahyangdisengketakan. Hasilnya,
kepercayaan masyarakat akan keberadaan Badan Pertanahan hilang, karena lembaga
ini tak mampu memberikan kepastian hukum akan hak atas tanah yang
disengketakan. Demikian hal tersebut diutarakan Anggota Panja Pertanahan DPR Wa
Ode Nurhayati saat ditemui media, kemarin, menyikapi banyaknya aspirasi warga
yang masuk di DPR mengenai persoalan sengketatanah.
Bahkan, menurut anggota Fraksi PAN ini, keterlibatan lembaga (BPN) itu untuk menyelesaikan sengketa pertanahan nyaris sangat kurang bahkan beberapa kasus tak ada sama sekali. Warga harus berjuang sendiri mempertahankan tanah yang menjadi obyek sengketa, melalui saluran-saluran (peradilan) yang cukup memungkinkan dikuasai atau dipegang oleh lembaga yang sedang bersengketa dengan warga.
"Disinilah, konflik pertanahan yang disengekatakan, masyarakat umumnya kalah, jika berhadapan dengan lembaga.," ungkapnya. Menurutnya, regulasi terhadap penyelesaian pertanahan harus segera dibentuk, atau paling tidak reforma agraria atau UU Pokok Agraria nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur pertanahan harusbenar-benarditerapkan. "Kebanyakan kasus tanah diselesaikan dengan pendekatan ekonomi dan kekuasaan, sehingga banyak tanah baik di kota maupun di desa dikuasai oleh para pemilik modal yang berkolaborasi dengan pejabat birokrasisetempat,"terangnya. Anggota DPR dari Dapil Provinsi Sultra ini menilai, ketidakpastian hukum karena banyaknya peraturan yang tumpang tindih juga menjadi kendala utama penyelesaian kasus-kasus tanahwarga. Ketidakpastian hukum ini pula, selain menyisahkan persoalan yang merugikan masyaralat umum, tuturnya, juga banyak sengketa pertanahan yang melahirkan kasus-kasuspertanahanyangtakerselesaikan.
Karena masing-masing pihak memiliki dasar hukum. Kondisi ini menjadi semakin kompleks sebab tidak didukung oleh tata peradilan yang terbuka dan akuntabel
Bahkan, menurut anggota Fraksi PAN ini, keterlibatan lembaga (BPN) itu untuk menyelesaikan sengketa pertanahan nyaris sangat kurang bahkan beberapa kasus tak ada sama sekali. Warga harus berjuang sendiri mempertahankan tanah yang menjadi obyek sengketa, melalui saluran-saluran (peradilan) yang cukup memungkinkan dikuasai atau dipegang oleh lembaga yang sedang bersengketa dengan warga.
"Disinilah, konflik pertanahan yang disengekatakan, masyarakat umumnya kalah, jika berhadapan dengan lembaga.," ungkapnya. Menurutnya, regulasi terhadap penyelesaian pertanahan harus segera dibentuk, atau paling tidak reforma agraria atau UU Pokok Agraria nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur pertanahan harusbenar-benarditerapkan. "Kebanyakan kasus tanah diselesaikan dengan pendekatan ekonomi dan kekuasaan, sehingga banyak tanah baik di kota maupun di desa dikuasai oleh para pemilik modal yang berkolaborasi dengan pejabat birokrasisetempat,"terangnya. Anggota DPR dari Dapil Provinsi Sultra ini menilai, ketidakpastian hukum karena banyaknya peraturan yang tumpang tindih juga menjadi kendala utama penyelesaian kasus-kasus tanahwarga. Ketidakpastian hukum ini pula, selain menyisahkan persoalan yang merugikan masyaralat umum, tuturnya, juga banyak sengketa pertanahan yang melahirkan kasus-kasuspertanahanyangtakerselesaikan.
Karena masing-masing pihak memiliki dasar hukum. Kondisi ini menjadi semakin kompleks sebab tidak didukung oleh tata peradilan yang terbuka dan akuntabel
HUKUM AGRARIA
“UUPA, Antara Cita-Cita dan Realita”
Dosen Pengampu: Masjhud Asjhari, SH., M.Kn
SANDRA SAPUTRA
( 09 410 341 )
Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar