PENERAPAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA TAHAP PEMBUKTIAN
DALAM SENGKETA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA TAHUN
2002-2006) (644)
(E 0003271)
Hukum Acara
ABSTRAK
RATMANING
PRATITI HS. E 0003271. 2006. PENERAPAN ASAS AUDI
ET ALTERAM PARTEM DALAM PEMBUKTIAN PADA SENGKETA PERDATA (Studi Kasus di
Pengadilan Negeri Surakarta Tahun 2002-2006. Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Skripsi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan asas Audi Et Alteram
Partem dalam pembuktian pada sengketa perdata di Pengadilan Negeri
Surakarta juga untuk mengetahui hambatan yang dihadapi hakim di Pengadilan
Negeri Surakarta dalam menerapkan asas Audi Et Alteram Partem dan cara
penyelesaiannya.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif dan
apabila dilihat dari jenisnya termasuk penelitian hukum empiris atau non
doctrinal. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta. Jenis
data yang yang dipergunakan meliputi data primer dan data sekunder.
Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui wawancara dengan Bapak
Ganjar Soesilo, S.H., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta dan Bagian
Kepaniteraan di Pengadilan Negeri Surakarta dan dengan studi pustaka baik
berupa berkas-berkas perkara Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Ska dan Nomor
90/Pdt.G/2004/PN.Ska., dokumen-dokumen, buku-buku literatur, dan sumber-sumber
tertulis lainnya yang berkaitan dengan penulisan ini. Analisis data
menggunakan analisis data kualitatif dengan model interaktif.
Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa penerapan asas Audi
et alteram Partem dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut: pertama
adanya panggilan sidang oleh panitera Pada pembuktian, panggilan
ditujukan kepada kedua belah pihak untuk hadir dimuka persidangan guna
menunjukkan bukti-bukti yang memperkuat dalil-dalil apa yang telah disampaikan
oleh para pihak. Kedua, sebutan “penggugat” dan “tergugat” terhadap para
pihak pada saat sidang sehingga kedudukan para pihak sama sebagai pihak yang
berperkara. Ketiga, dalam pengajuan alat bukti, pihak Penggugat maupun
Tergugat mempunyai hak yang sama untuk mengajukan bukti-bukti Sedangkan
hambatan hakim di Pengadilan Negeri Surakarta dalam menerapkan asas Audi Et
Alteram Partem antara lain karena masalah tingkat pendidikan, dimana
kedudukan tidak seimbang pada saat para pihak tidak mempunyai tingkat
pendidikan yang sama atau bahkan salah satu pihak tidak mempunyai tingkat
pendidikan. Selanjutnya Tidak hadirnya para saksi dan keterbatasan biaya dari
salah satu pihak untuk keperluan di pengadilan. Dimana salah satu pihak tidak
mempunyai dana yang memadai untuk menghadirkan kuasa hukum. Apalagi
apabila pihak tersebut tidak mengetahui tentang hukum. Sedangkan pihak
lawannya dapat menghadirkan kuasa hukum dalam sidang pemeriksaan. .Akan
tetapi hakim Pengadilan Negeri Surakarta juga tidak tinggal diam dalam
menghadapi kendala yang dihadapi tersebut. Cara yang ditempuh oleh hakim
Pengadilan Negeri Surakarta adalah dengan bersikap kooperatif.
Sidang Pleno MK
Audi
et alteram partem merupakan kalimat dari bahasa latin
yang berarti: “Dengarkan sisi lain”. Kalimat ini dikenal sebagai asas hukum
dalam hukum acara atau hukum prosesuil. Agar sebuah proses persidangan berjalan
seimbang, maka kedua belah pihak harus di dengar dan diberikan kesempatan yang
sama demi keadilan. Hakim tidak boleh menerima keterangan hanya dari satu pihak
saja, tanpa terlebih dahulu mendengar dan memberikan kesempatan pihak lain
mengajukan pendapatnya. Konsekwensi asas ini jika salah satu pihak memberikan
dan mengajukan alat bukti di persidangan, maka pihak lawan harus mengetahui dan
hadir di persidangan.
Azas
Audi et Lateram Partem dikenal sebagai azas keseimbangan dalam hukum
acara pidana, yakni seorang hakim wajib untuk mendengarkan pembelaan dari pihak
yang disangka atau didakwa melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum guna
menemukan kebenaran materiil suatu perkara yang diadilinya. Hak untuk didengar
pendapatnya sebagai perwujudan asas audi et alteram partem ini juga
adalah merupakan hak yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
Di
dalam hukum acara perdata, asas ini memberikan kedudukan sama kepada para pihak
di muka hakim dengan beban pembuktian yang seimbang. Hakim harus membagi beban
pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukannya. Asas ini membawa akibat
kemungkinan untuk menang bagi para pihak dengan kesempatan sama. Pada asanya
dalam hukum perdata secara umum, siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah
yang harus membuktikannya sebagaimana ditentukan dalam HIR. Namun dalam
prakteknya pembagian beban pembuktian dirasakan adil yang dibebani pembuktian
adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.
Terkait
dengan asas ini, jika pihak Tergugat/Termohon telah dipanggil secara patut akan
tetapi tidak hadir, maka pengadilan dapat mengabulkan gugatan dengan putusan
tanpa kehadiran Tergugat (verstek), kecuali kalau gugatan melawan hak
atau tidak beralasan. Hakim tetap harus mempertimbangkan terbukti tidaknya
dalil-dalil yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon.
Dalam
praktek, permohonan yang diajukan dalam bentuk permohonan (voluntaire),
padahal didalamnya terdapat sengketa, tidak diperkenankan. Hal ini untuk
seharusnya dalam bentuk gugatan (contentiosa), karena untuk melindungi
kepentingan orang-orang yang berkepentingan dengan perkara. Tidak dimasukkannya
pihak-pihak berkepentingan, padahal terdapat sengketa di dalamnya,
mengakibatkan sebuah permohonan dinyatakan tidak diterima (NO). Hal ini
semata-mata untuk melindungi penyalahgunaan sebuah gugatan, akan tetapi
diajukan dalam bentuk permohonan.
Di
dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi (MK), asas ini tidak tegas
dicantumkan. Namun pada dasarnya norma yang dirumuskan pasal-pasal
undang-undang merupakan penjabaran asas ini. Begitu pula dalam Peraturan MK,
memberikan kesempatan sama memberikan keterangan mulai dari pemberitahuan
permohonan, kesempatan mengajukan jawaban dan bukti-bukti, masuknya pihak-pihak
berkepentingan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, karakteristik perkara di
MK menyangkut kepentingan publik, oleh karenanya asas-asas lain belum tentu
sesuai. Hakim Konstitusi terikat dengan kewajiban aktif dalam persidangan
dengan kondisi masyarakat pencari keadilan belum seimbang dalam pengetahuan dan
kemampuan. Ketentuan Pasal 5 (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
yang menyebutkan “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang” dan Ayat (2) “Pengadilan membantu pencari keadilan dan
berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.” juga berlaku di MK.
(Miftakhul Huda)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar