Kamis, 23 Juni 2011

Asas-asas perjanjian asuransi (hukum dagang)


Asas-asas perjanjian asuransi
1.       1. Asas Indemnitas
Adalah asas dalam asuransi yang menyatakan bahwa pembayaran klaim berupa ganti rugi mutlak sebesar kerugian yang diderita. Tidak boleh mengganti lebih dari kerugian yang diderita.
“ dilarang memperkaya diri melalui asuransi ” asas yg dipunyai dalam asas ini.

2.     2.   Asas Kepentingan
Bahwa asas yang menyatakan keharusan adanya hubungan kepentingan antara tertanggung dengan obyek asuransi.
Adanya kepentingan = diasuransikan
Hubungan ini harus ada diantara tertanggung dengan objek asuransi.
Contoh : asuransi tanggung jawab ( terhadap mobil rentalan yang menjadi tanggung jawab seseorang).
Asuransi jiwa = antara ada dan tidaknya hubungan kepentingan tergantung situasi.

3.       3. Asas I’tikad baik
Dalam perjanjian biasa = adanya asas I’tikad baik ini ada setelah dibuatnya perjanjian
Dalam perjanjian asuransi = adanya asas I’tikad baik ini ada sebelum dibuatnya perjanjian.
-dalam asuransi tidak wajib membayar asuransi bila dia menyalahi asas I’tikad baik tersebut.

4.       4. Asas subrogasi
Subrogasi adalah pengalihan hak untuk menuntut pihak ketiga penyebab kerugian. Yang semula dari tertanggung menjadi hak tertanggung.
Subrogasi bias ada karena adanya perjanjian.
“ dalam asuransi yang dimaksud adalah subrogasi karena UU.

cOntoh :  A menabrak mobil B , maka si B meminta ganti rugi terhadap pihak asuransi setelah itu asuransi meminta ganti rugi kepada si A. à Subrogasi
apabila B meminta ganti rugi kepada a dan asuransi diperbolehkan asal tidak melebihi kerugian yang diderita “asas idemnitas”
apabila A tidak bias membayar maka menjadi tanggung jawab pihak asuransi.

UUPA, Antara Cita-Cita dan Realita


Masalah agraria sepanjang zaman adalah masalah politik. siapa menguasai tanah, ia menguasai pangan atau ia menguasai sarana-sarana kehidupan! siapa menguasai sarana kehidupan ia menguasai manusia!
24 september 1960 presiden soekarno menandatangani Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UU ini diyakini merupakan satu-satunya yang tersisa instrumen hukum yang berpihak kepada kepentingan rakdjat. dalam amanat UU ini pemerintah mempunyai kewenangan besar untuk mengambil alih tanah-tanah yang dikuasai penjajah dan tuan tanah secara berlebihan.segera saja, ribuan hektar tanah dibagikan secara merata kepada rakyat miskin, petani, nelayan dan masyarakat adat, terutama di pulau Jawa sebagai pilot project. selanjutnya, cita-cita UUPA ini adalah mendistribusikan tanah secara langsung kepada kaum papah secara nasional dari sabang sampai merauke.sayang konstelasi politik pada tahun 60-an tidak berpihak pada Soekarno dan rezimnya, dengan campur tangan agen-agen asing Soekarno dinonaktifkan, dengan G-30 S PKI, gerakan dewan jendral dan lain-lain. yang akhirnya, beralih kepada Soeharto.ketika itulah ruh dari UUPA hilang UU ini tidak dihapus, namun bermunculanlah UU pesanan asing. diantaranya UU pertambangan, UU penanaman modal dan UU tentang hutan. ketiga UU ini pada prinsipnya melanggengkan investasi asing secara besar-besaran menguasai tanah nusantara. alhasil apa yang terjadi hingga hari ini? ribuan rakyat lapar, miskin tanpa tanah di rumah mereka sendiri.
Perlawanan masyarakat Bengkulu dengan PTPN VII yang telah merampas tanah mereka sejak 25 tahun yang lalu hingga mengantarkan 20 rakyat Bengkulu mendekam di jeruji besi, tewasnya ibu-ibu di Kuansing Riau oleh Brimob, pertambangan yang melanggar kaidah lingkungan hidup adalah  contoh kecil dari ribuan konflik pertanahan.
Beberapa lembaga mencatat konflik pertanahan di nusantara ini terbilang tinggi saat ini mencapai 7 ribu kasus dengan pemenang terakhir mayoritas pengusaha kaya dan orang yang berduit. terdapat kasus pelanggaran HAM berat, sedang dan ringan. turunan dari konflik adalah kemiskinan yang menggurita ke segala sendi.
secara kuantitatif setidaknya 44 persen penduduk Indonesia adalah petani (SPI 2009) jumlah ini menunjukkan bahwa kebutuhan akan tanah sebagai modal utama bagi petani sangatlah penting. fenomena ini semakin menggila ketika ribuan izin usaha perkebunan skala besar dan pertambangan diberikan oleh pemerintah pusat dan daerah.buruknya tata kelola dan niat baik terhadap pengaturan tanah untuk rakyat ini semakin menipiskan ruang hidup bagi 237 juta jiwa rakyat Indonesia. liahtlah Jakarta sebagai contoh bukan tempat yang baik lagi saat ini bagi ruang hidup rakyat. polusi, pencemaran, banjir, kemiskinan semakin menjadi.memang tidak ada harapan yang baik jika kita menggantungkan pada pengelola negara ditengah tingginya kebebalan mereka pada kebenaran. sebagai rakyat tentunya kita juga mempunyai jalan keluar bagi masalah ini. pertama, pemerintah pusat dan daerah harus segera mengaktifkan badan otorita pertanahan. kedua, menjalankan amanat PP 11 tahun 2010 tentang tanah terlantar. ketiga, meolak RUU pengadaan tanah untuk pembangunan yang berpihak pada kepentingan investasi (kapitalis). ditambah dengan niat tulus untuk negeri, tanpa ini semua, yang terjadi adalah keniscayaan dan penzaliman!!!Jakarta -- Penuntasan masalah tanah dan pertanahan kerap kali berujung pada konflik horisontal (antar sesama warga) dan konflik vertical (antara warga dengan lembaga). Kebanyakan dari konflik tersebut, khususnya konflik vertikal warga selalu kalah dalam penguasaan hak atastanahyangdisengketakan.  Hasilnya, kepercayaan masyarakat akan keberadaan Badan Pertanahan hilang, karena lembaga ini tak mampu memberikan kepastian hukum akan hak atas tanah yang disengketakan. Demikian hal tersebut diutarakan Anggota Panja Pertanahan DPR Wa Ode Nurhayati saat ditemui media, kemarin, menyikapi banyaknya aspirasi warga yang masuk di DPR mengenai persoalan sengketatanah. 

Bahkan, menurut anggota Fraksi PAN ini, keterlibatan lembaga (BPN) itu untuk menyelesaikan sengketa pertanahan nyaris sangat kurang bahkan beberapa kasus tak ada sama sekali. Warga harus berjuang sendiri mempertahankan tanah yang menjadi obyek sengketa, melalui saluran-saluran (peradilan) yang cukup memungkinkan dikuasai atau dipegang oleh lembaga yang sedang bersengketa dengan warga. 

"Disinilah, konflik pertanahan yang disengekatakan, masyarakat umumnya kalah, jika berhadapan dengan lembaga.," ungkapnya. Menurutnya, regulasi terhadap penyelesaian pertanahan harus segera dibentuk, atau paling tidak reforma agraria atau UU Pokok Agraria nomor 5 Tahun 1960 yang mengatur pertanahan harusbenar-benarditerapkan. "Kebanyakan kasus tanah diselesaikan dengan pendekatan ekonomi dan kekuasaan, sehingga banyak tanah baik di kota maupun di desa dikuasai oleh para pemilik modal yang berkolaborasi dengan pejabat birokrasisetempat,"terangnya. Anggota DPR dari Dapil Provinsi Sultra ini menilai, ketidakpastian hukum karena banyaknya peraturan yang tumpang tindih juga menjadi kendala utama penyelesaian kasus-kasus tanahwarga. Ketidakpastian hukum ini pula, selain menyisahkan persoalan yang merugikan masyaralat umum, tuturnya, juga banyak sengketa pertanahan yang melahirkan kasus-kasuspertanahanyangtakerselesaikan. 

Karena masing-masing pihak memiliki dasar hukum. Kondisi ini menjadi semakin kompleks sebab tidak didukung oleh tata peradilan yang terbuka dan akuntabel


HUKUM AGRARIA
UUPA, Antara Cita-Cita dan Realita”
Dosen Pengampu: Masjhud Asjhari, SH., M.Kn

uii
SANDRA SAPUTRA
( 09 410 341 )
Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011

PENERAPAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA TAHAP PEMBUKTIAN DALAM SENGKETA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA TAHUN 2002-2006) (644)


PENERAPAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM PADA TAHAP PEMBUKTIAN DALAM SENGKETA PERDATA (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA TAHUN 2002-2006) (644)
(E 0003271) Hukum Acara
ABSTRAK

RATMANING PRATITI HS.  E  0003271.   2006.  PENERAPAN ASAS AUDI ET ALTERAM PARTEM DALAM PEMBUKTIAN PADA SENGKETA PERDATA (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta Tahun 2002-2006.  Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Skripsi.
            Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan asas Audi Et Alteram Partem dalam pembuktian pada sengketa perdata di Pengadilan Negeri Surakarta juga untuk mengetahui hambatan yang dihadapi hakim di Pengadilan Negeri Surakarta dalam menerapkan asas Audi Et Alteram Partem dan cara penyelesaiannya.
            Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif dan apabila dilihat dari jenisnya termasuk penelitian hukum empiris atau non doctrinal.  Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta.  Jenis data yang yang dipergunakan meliputi data primer dan data sekunder.  Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu melalui wawancara dengan Bapak Ganjar Soesilo, S.H., selaku Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta dan Bagian Kepaniteraan di Pengadilan Negeri Surakarta dan dengan studi pustaka baik berupa berkas-berkas perkara Nomor 19/Pdt.G/2002/PN.Ska dan Nomor 90/Pdt.G/2004/PN.Ska., dokumen-dokumen, buku-buku literatur, dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan penulisan ini.  Analisis data menggunakan analisis data kualitatif dengan model interaktif.
            Berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh hasil bahwa penerapan asas Audi et alteram Partem dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut: pertama adanya  panggilan sidang oleh panitera Pada pembuktian, panggilan ditujukan kepada kedua belah pihak untuk hadir dimuka persidangan guna menunjukkan bukti-bukti yang memperkuat dalil-dalil apa yang telah disampaikan oleh para pihak.  Kedua, sebutan “penggugat” dan “tergugat” terhadap para pihak pada saat sidang sehingga kedudukan para pihak sama sebagai pihak yang berperkara.  Ketiga, dalam pengajuan alat bukti, pihak Penggugat maupun Tergugat mempunyai hak yang sama untuk mengajukan bukti-bukti  Sedangkan hambatan hakim di Pengadilan Negeri Surakarta dalam menerapkan asas Audi Et Alteram Partem antara lain karena masalah tingkat pendidikan, dimana kedudukan tidak seimbang pada saat para pihak tidak mempunyai tingkat pendidikan yang sama atau bahkan salah satu pihak tidak mempunyai tingkat pendidikan. Selanjutnya Tidak hadirnya para saksi dan keterbatasan biaya dari salah satu pihak untuk keperluan di pengadilan. Dimana salah satu pihak tidak mempunyai dana yang memadai untuk menghadirkan kuasa hukum.  Apalagi apabila pihak tersebut tidak mengetahui tentang hukum.  Sedangkan pihak lawannya dapat menghadirkan kuasa hukum dalam sidang pemeriksaan.  .Akan tetapi hakim Pengadilan Negeri Surakarta juga tidak tinggal diam dalam menghadapi kendala yang dihadapi tersebut.  Cara yang ditempuh oleh hakim Pengadilan Negeri Surakarta adalah dengan bersikap kooperatif. 



                                                      Sidang Pleno MK
Kencana SH/Humas MKAudi et alteram partem merupakan kalimat dari bahasa latin yang berarti: “Dengarkan sisi lain”. Kalimat ini dikenal sebagai asas hukum dalam hukum acara atau hukum prosesuil. Agar sebuah proses persidangan berjalan seimbang, maka kedua belah pihak harus di dengar dan diberikan kesempatan yang sama demi keadilan. Hakim tidak boleh menerima keterangan hanya dari satu pihak saja, tanpa terlebih dahulu mendengar dan memberikan kesempatan pihak lain mengajukan pendapatnya. Konsekwensi asas ini jika salah satu pihak memberikan dan mengajukan alat bukti di persidangan, maka pihak lawan harus mengetahui dan hadir di persidangan.

Azas Audi et Lateram Partem dikenal sebagai azas keseimbangan dalam hukum acara pidana, yakni seorang hakim wajib untuk mendengarkan pembelaan dari pihak yang disangka atau didakwa melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum guna menemukan kebenaran materiil suatu perkara yang diadilinya. Hak untuk didengar pendapatnya sebagai perwujudan asas audi et alteram partem ini juga adalah merupakan hak yang dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.
Di dalam hukum acara perdata, asas ini memberikan kedudukan sama kepada para pihak di muka hakim dengan beban pembuktian yang seimbang. Hakim harus membagi beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukannya. Asas ini membawa akibat kemungkinan untuk menang bagi para pihak dengan kesempatan sama. Pada asanya dalam hukum perdata secara umum, siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah yang harus membuktikannya sebagaimana ditentukan dalam HIR. Namun dalam prakteknya pembagian beban pembuktian dirasakan adil yang dibebani pembuktian adalah pihak yang paling sedikit dirugikan jika disuruh membuktikan.
Terkait dengan asas ini, jika pihak Tergugat/Termohon telah dipanggil secara patut akan tetapi tidak hadir, maka pengadilan dapat mengabulkan gugatan dengan putusan tanpa kehadiran Tergugat (verstek), kecuali kalau gugatan melawan hak atau tidak beralasan. Hakim tetap harus mempertimbangkan terbukti tidaknya dalil-dalil yang diajukan oleh Penggugat/Pemohon.
Dalam praktek, permohonan yang diajukan dalam bentuk permohonan (voluntaire), padahal didalamnya terdapat sengketa, tidak diperkenankan. Hal ini untuk seharusnya dalam bentuk gugatan (contentiosa), karena untuk melindungi kepentingan orang-orang yang berkepentingan dengan perkara. Tidak dimasukkannya pihak-pihak berkepentingan, padahal terdapat sengketa di dalamnya, mengakibatkan sebuah permohonan dinyatakan tidak diterima (NO). Hal ini semata-mata untuk melindungi penyalahgunaan sebuah gugatan, akan tetapi diajukan dalam bentuk permohonan.
Di dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi (MK), asas ini tidak tegas dicantumkan. Namun pada dasarnya norma yang dirumuskan pasal-pasal undang-undang merupakan penjabaran asas ini. Begitu pula dalam Peraturan MK, memberikan kesempatan sama memberikan keterangan mulai dari pemberitahuan permohonan, kesempatan mengajukan jawaban dan bukti-bukti, masuknya pihak-pihak berkepentingan dan lain sebagainya. Oleh karena itu, karakteristik perkara di MK menyangkut kepentingan publik, oleh karenanya asas-asas lain belum tentu sesuai. Hakim Konstitusi terikat dengan kewajiban aktif dalam persidangan dengan kondisi masyarakat pencari keadilan belum seimbang dalam pengetahuan dan kemampuan. Ketentuan Pasal 5 (1) UU No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang” dan Ayat (2) “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.” juga berlaku di MK. (Miftakhul Huda)

Selasa, 07 Juni 2011

Analisis dan Solusi Masalah Korupsi di Indonesia dalam perspektif teori Sistem Hukum Lawrence Friedman


HUKUM PIDANA KHUSUS
“Analisis dan Solusi Masalah Korupsi di Indonesia dalam perspektif teori Sistem Hukum Lawrence Friedman”








SANDRA SAPUTRA
( 09 410 341 )
Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011









DAFTAR ISI

Halaman Judul………………………………………………………….i
Kata Pengantar........................................................................................ii
Daftar Isi…………………………………………………………….......iii
Pendahuluan…………………………………………………………...         
Pembahasan..................………………………………………………..
Penutup.....……………………………………………………………..
















KATA PENGANTAR
       Assalamu`alaikum Wr.Wb

Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas ijin-Nya jua maka saya dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “ MENGANALISIS dan MENCARI SOLUSI MASALAH KORUPSI di INDONESIA menurut Teori LAURENCE FRIEDMAN
                  
       Maksud dari pembuatan makalah ini selain memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pidana Khusus adalah memberi informasi kepada pembaca mengenai Analisis dan Solusi Masalah Korupsi di Indonesia.

       Terimakasih kepada dosen pengampu mata kuliah Hukum Pidana Khusus Muh. Abdul Kholiq ,SH., M.Hum. atas kritik dan saran sehingga makalah ini sesuai dengan yang diharapkan. Tak lepas pula ucapan terimakasih saya pada teman satu kelas saya atas pendapatnya dan segala bantuanya.

       Wassalamu`alaikum Wr.Wb






PENDAHULUAN
Hukum adalah suatu sistem, yaitu sistem norma-norma. Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum atau sistem norma-norma, Sebagai sebuah sistem, hukum pidana memiliki sifat umum dari suatu sistem yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling terkait(relations) dan kemudian membentuk struktur (structure).[2]Lawrence M. Friedman menyebutkan sistem hukum dalam arti luas dengan tiga elemen yaitu struktural (structure), substansi(substance) dan budaya hukum (legal culture). Ketiga elemen tersebut saling mempunyai korelasi erat. Lawrence M. Friedman lebih lanjut mendeskripsikan ketiga elemen sistem hukum tersebut diumpamakan sebuah mesin dimana budaya hukum sebagai bahan bakar yang menentukan hidup dan matinya mesin tersebut. Konsekuensi aspek ini maka budaya hukum begitu urgen sifatnya. Oleh karena itu, tanpa budaya hukum, sistem hukum menjadi tidak berdaya, seperti seekor ikan mati yang terkapar di dalam keranjang, bukan seperti seekor ikan hidup yang berenang di lautan.
n  Komponen  Sistem Hukum
            1. Substansi Hukum :
                Norma-norma hukum (peraturan, keputusan) yang 
        dihasilkan dari produk hukum
            2. Struktur Hukum :
                Kelembagaan yang diciptakan sistem hukum yang
         memungkinkan pelayanan dan penegakan hukum
            3. Budaya Hukum :
                Ide-ide, sikap, harapan, pendapat, dan nilai-nilai yang
         berhubungan dengan hukum (bisa positip / negatip).

Q
PEMBAHASAN
Substansi hukum
Substansi hukum (legal substance) dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi besar mengguritanya praktik korupsi. Hal itu terjadi karena substansi hukum direkayasa untuk memudahkan melakukan korupsi. Tidak hanya itu, substansi hukum juga dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan mereka yang tersangkut korupsi mengelak dari jeratan hukum. Cara paling sederhana, membuat norma hukum yang tidak jelas atau kabur.
Substansi hukum yang kabur itu tidak hanya memudahkan melakukan korupsi, tetapi juga memberikan kesempatan yang luas kepada penegak hukum untuk ”menggorengnya” sesuai kepentingan masing- masing. Bagi penegak hukum yang bekerja demi kepentingan penegakan hukum, aturan yang tidak jelas dapat digunakan untuk menjerat pelaku korupsi yang memanfaatkan aturan hukum yang tidak jelas itu. Sementara bagi penegak hukum yang ingin meraih keuntungan finansial, substansi hukum yang demikian akan diperdagangkan dengan mereka yang tersangkut kasus korupsi.
Berkaca dari kasus suap dengan Artalyta dan kejadian yang menimpa Glenn Yusuf, jaksa Urip benar-benar ”menggoreng” kasus BLBI untuk menuai keuntungan finansial. Meski belum tentu tindakan itu dilakukan jaksa Urip untuk kepentingan diri sendiri. Namun dapat dipastikan, keberanian jaksa Urip muncul karena ia tahu persis kelemahan substansi hukum dalam perkara BLBI.
Salah satu substansi hukum yang potensial dan sering diperdagangkan penegak hukum adalah adanya peluang untuk menghentikan penyidikan perkara (SP3). Mencermati kasus BLBI, penghentian sejumlah perkara dilakukan karena alasan tidak cukup bukti. Setelah kasus suap jaksa Urip dan Artalyta terungkap ke permukaan, alasan tidak cukup bukti sulit diterima sebagai penghentian kasus BLBI.
Dari penjelasan itu, terkuaknya penyimpangan yang dilakukan penegak hukum dalam pemberantasan korupsi dipicu oleh kelemahan substansi hukum. Kelemahan itu dimanfaatkan secara bersama-sama oleh koruptor dan penegak hukum untuk membangun relasi simbiosis mutualisme. Karena itu, amat jarang pelaku korupsi dijatuhi pidana maksimal. Sampai sejauh ini, mungkin hanya sepak terjang KPK yang mampu sedikit mengkhawatirkan koruptor.
Langkah progresif
Untuk keluar dari jerat korupsi yang menggurita, harus dimulai langkah-langkah progresif berupa pembenahan substansi hukum, shock therapy bagi penegak hukum dan pelaku tindak pidana korupsi.
Untuk substansi hukum, diperlukan political will untuk mereformasi semua aturan yang memudahkan terjadinya tindak pidana korupsi. Melihat aturan hukum yang ada, tidak mungkin menghambat laju praktik korupsi yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan negara. Bagaimanapun, menunda reformasi substansi hukum sama dengan mempercepat negeri ini masuk jurang kehancuran.
Sementara itu, penegak hukum yang memperdagangkan perkara korupsi harus diberi shock-therapy dengan menjatuhkan hukuman maksimal. Untuk itu, dengan tingkat perbuatan yang begitu memalukan, orang seperti jaksa Urip harus dihukum pidana maksimal. Memberikan hukuman ringan kepada penegak hukum yang memperdagangkan kasus korupsi tentu tidak akan memberi efek jera.
Khusus untuk pelaku korupsi, usulan memberi tanda ”EK” (eks koruptor) di KTP atau dengan mengucilkan dalam pergaulan masyarakat masih jauh dari cukup. Langkah progresif lain yang harus dilakukan, misalnya, bagi yang sedang dalam proses hukum, dalam setiap penampakan ke publik (seperti hadir dalam persidangan) harus memakai pakaian tahanan. Selain itu, bagi yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman tidak lagi diberi fasilitas pengurangan hukuman. Mereka harus menjalankan hukuman penuh sesuai putusan pengadilan.
Saya percaya, tanpa langkah progresif, negeri ini tidak akan pernah keluar dari jeratan korupsi. Bagian dari sejarah negeri ini menceritakan kepada kita, VOC hancur karena korupsi. Apakah kita sedang membiarkan sejarah itu berulang?
1.      STRUKTUR HUKUM
Komponen yang disebut dengan struktur adalah kelembagaan diciptakan oleh sistem hukum seperti pengadilan negeri, pengadilan administrasi, yang mampunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen tersebut memungkinnya adanya pelayanan dan pelaksanaan hukum secara teratur. Kondisi sekarang ini terjadi penurunan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional terhadap badan peradilan. Keadaan badan peradilan yang demikian tidak dapat dibiarkan berlangsung secara terus menerus perlu dilakukan upaya progresif dan renponsif untuk menanggulangi hal tersebut.
 Penurunan kepercayaan dan kewibawaan peradilan dikarenakan lemahnya kepemimpinan manajemen perkara, lemahnya pengawasan internal, rendahnya kredibilitas hakim, rendahnya integritas dan profesionalitas hakim. Seperti diketahui bersama bahwa belum lama ini Artalyta Suryani (Ayin) divonis lima tahun penjara oleh pengadilan yang memeriksanya terkait dengan kasus suap, menurut penulis hal tersebut tidak sebanding dengan kejahatan dan kerugian yang dialami negara, sebelum itu juga terdapat permasalahan di lingkungan Mahkamah Agung yaitu kasus suap Probosutedjo, namun kasus tersebut sangat sulit dibuktikan bahkan tidak dapat menjerat ketua MA Bagir Manan, ataupun putusan bebas Akbar Tandjung, dan kemungkinan juga perkara yang diperiksa diluar kemampuan hakim yang dikeranakan kompleksitas perkaradan juga terdapat kelemahan (Weakness) lembaga kehakiman adalah manajemen pengelolaan modal tenaga intelektual belum berjalan baik termasuk rekrutmen dan juga promosi hakim yaitu belum adanya penyaringan tenaga hakim yang cerdas jujur dan beraniUntuk mengatasi hal tersebut haruslah terdapat suatu reformasi lembaga peradilan yang melibatkan beberapa aspek yaitu perubahan administrasi hakim dan pembenahan kualitas hakim.
Penting melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja menyangkut penataan kelembagaan (institutional reform) ataupun menyangkut mekanismeaturan yang bersifat instrumental (instrumental atau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat yang cenderung kurang optimal.
Faktor lain yang yang perlu diperlihatkan dalam upaya pembangunan penegakan hukum yang akuntabel adalah proses rekrutmen personel penegak hukum yang dalam hal ini adalah hakim. Penegakan hukum yang akuntabel juga menyangkut the scientific investigation of legal problem, maka dari itu diperlukan penegak hukum yang memiliki insting yuridis yang tajam dalam segala kebutuhan masalah hukum dan menyelesaikannya secara cepat, tepat, adil dalam rangka mewujudkan peradilan yang murah, cepat dan tentunya adil. Sehingga tidak menimbulkan justice denied. Bisa juga proses penyelesaian kasus hukum secara berkualitas menuntut adanya pendidikan berkelanjutan Continuing Legal Education (CLE) bagi para penegak hukum.
Dalam menyelesaikan kasus korupsi sebagai extra ordinary crime bukanlah mudah bila mengacu ataupun menggunakan sistem hukum yang ada sekarang ini, dan pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan dengan cara yang tidak biasa ataupun dengan kebijakan integral baik itu penal maupun non penal dengan memperhatikan faktor kriminogen terbentuknya suatu kejahatan misalnya keberanian hakim untuk menggunakan asas pembuktian terbalik dan asas peradilan in absentia karena sistem peradilan yang sekarang ini ataupun hukum positif sekarang kurang dapat menjerat dan mengatasi persoalan yang akan dihadapi sehingga dibutuhkan suatu pemikiran progresif yaitu dengan memperhatikan faktor-faktor non yuridis dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum Progresif menjadi prioritas alternatif yang wajib digunakan dalam penanggulangan kasus seperti kasus korupsi. Karena penaggulangan seperti sekarang ini adalah bersifat sistemik dan cenderung statis serta monoton sehingga Indonesia akan menjadi surga bagi pelaku kejahatan. Dalam penegakan hukum yang progresif memerlukan adanya penegak hukum yang mempunya integritas tinggi berserta moral yang baik. Hakim Amerika mengatakan” berikan aku penegak hukum yang baik dan dengan Undang-Undang yang buruk niscaya keadilan akan tercapai”, lebih dari itu juga dituntut adanya ideologi penegak keadilan yang berorientasi nilai keadilan.





BUDAYA HUKUM
(LEGAL CULTURE)

         Hukum bukan sekedar alat yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, tetapi merupakan perangkat tradisi, obyek pertukaran nilai yang tidak netral dari pengaruh sosial dan budaya
         Hukum harus dilihat sebagai suatu sistem yang utuh.
         Pengertian Sistem :
            a. Berorientasi pada satu tujuan
            b. Lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagian
            c. Berinteraksi dengan sistem lain yang lebih besar
            d. Bekerjanya bagian-bagian menciptakan sesuatu
                yang berharga.
         Secara Sosiologis : hukum sebagai sistem nilai yang merupakan sub sistem dari sistem sosial (T. Parsons)
         Budaya : Berfungsi sebagai kerangka normatif dalam kehidupan manusia à menentukan perilaku
         Budaya berfungsi sebagai sitem perilaku
         Budaya hukum sangat mempengaruhi efektifitas berlaku dan keberhasilan penegakan hukum
         Hukum merupakan konkretisasi nilai-nilai sosial yang terbentuk dari kebudayaan
         Kegagalan hukum modern seringkali karena tidak compatible dengan budaya hukum masyarakat (Misal : UU PemDes 9/1975).
         Budaya Hukum :
            a. Internal Legal Culture : kultur yang dimiliki oleh    struktur hukum
            b. External Legal Culture : kultur hukum masyarakat pada umumnya
Mengubah kultur hukum yang berkarakter individual-liberal menjadi kolektivtas-sosial-religius disadari bukan pekerjaan mudah dan ringan untuk bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Mengubah kultur hukum senantiasa harus paham tentang nilai-nilai, tradisi, kebiasaan, dan segala sikap dominan yang umumnya berlaku dalam segala aspek kehidupan. Kompleksitas kehidupan dan derasnya nilai-nilai Barat yang merasuk lewat arus globalisasi menjadikan nilai-nilai domestik tergerus dan termarginalkan, bahkan hilang dari sanubari terdalam warga negara dan bangsa.

Tiada cara yang lebih efektif untuk penyadaran masalah penanaman nilai-nilai kolektivitas-sosial-religius itu kecuali dengan pendidikan budi pekerti, karakter, agama, dan nasionalisme. Agenda akademik dan pedagogik sudah tentu amat penting untuk masa depan dalam rangka pencegahan terhadap meluasnya wabah korupsi pada generasi penerus. Tetapi, untuk situasi yang telah telanjur berantakan saat ini, tentu dibutuhkan agenda aksi yang tegas dan nyata (affirmative action). KPK telah mengawali, memberi contoh sekaligus menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi secara tegas dan nyata. Belum lama ini, para tokoh lintas agama, para tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM), forum rektor, dan berbagai elemen masyarakat telah bergeliat memberikan dukungan dan merapatkan barisan untuk bersama-sama memerangi korupsi kolektif.

Retorika politik di berbagai media dengan berkilah dan pernyataan berputarputar, selain terkesan defensif, juga tidak menyelesaikan masalah, justru semakin memicu kemarahan massa. Kalau memang, para politisi, advokat, jajaran kepolisian, dan kejaksaan tidak sanggup ikut serta dalam barisan perang antikorupsi, lebih baik minggir atau mundur untuk memberi jalan lapang bagi kelancaran dan kesuksesan pemberantasan korupsi.

Jangan menghalang- halangi dan jangan menjadi duri dalam daging bangsa sendiri. Awas, menghalang-halangi bisa dipersepsikan sebagai bagian dari mafioso dan akan digilas pula oleh tank-tank antikorupsi.(*)

Dilihat dari awal mula kejadiannya, semua jenis kejahatan (termasuk korupsi) selalu dimulai dari pelanggaran hukum di bidang keuangan yang kuantitasnya kecil dan kualitasnya rendah. Virus-virus kejahatan demikian itu akan segera menjadi besar dan mewabah apabila didukung oleh situasi lingkungan yang serbamiskin (terutama miskin iman), permisif, dan kontrol hukum yang lemah.Kultur hukum kita akhir-akhir ini cenderung kuat menunjukkan ada situasi yang serba negatif itu. Berlakulah pepatah Jawa ”kriwikan dadi grojogan”, artinya dari kejahatan kecil per individu dengan cepat menjadi kejahatan besar (kolektif).

Kini, korupsi itu sudah merupakan kejahatan kolektif. Bahasa hukum menyebutnya sebagai extraordinary crime. Korupsi bukan lagi merupakan kejahatan biasa dan bersifat per individu, melainkan telah menjelma sebagai kejahatan luar biasa yang bersifat kolektif. Syed Hussein Naser (1968) menyebut perkembangan korupsi yang sedemikian meluas itu sebagai widespread, deeply rooted. Apabila perkembangan itu tidak bisa dihentikan dengan pemberantasan secara tuntas, dipastikan tinggal selangkah lagi sampai pada kehancuran masyarakat, bangsa, dan negara.





KESIMPULAN
Kita sudah tentu sangat khawatir dan risau dengan kegagalan pemberantasan korupsi selama ini. Dari aspek hukum terlihat sekali bahwa metode konvensional pemberantasan korupsi dengan bertumpu kepada teks-teks dan prosedur yang tertulis dalam perundang- undangan (hukum positif) ternyata sangat mudah dipatahkan oleh mafioso untuk meloloskan diri dari jeratan hukum. Pengalaman pedih seperti itu mestinya cukup memberikan pelajaran bagi kita, khususnya para aparat penegak hukum untuk segera menemukan metode lain yang juga tergolong extraordinary.


Sudah tentu, metodenya pun harus tergolong luar biasa. Ini baru ada korespondensi dan benar menurut logika hukum. Metode penegakan hukum yang kita pilih harus lebih unggul dan bisa mengatasi perkembangan korupsi itu sendiri. Jangan sampai aparat penegak hukum terbirit-birit jauh tertinggal dari gesit dan lincahnya lari para koruptor. Kita wajib menemukan metode baru yang antisipatif sekaligus represif terhadap perkembangan korupsi. Penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan sikap kritis, kreatif, dan inovatif. Sikap kritis diperlukan tertuju kepada doktrin-doktrin hukum individual-liberal yang masih kuat mengakar pada hukum pidana. Dari sikap kritis itu diharapkan muncul keberanian untuk melakukan dekonstruksi ke arah doktrin baru yang berkarakter kolektivitas-sosial-religius.

Kita wajib mencegahnya. Inovasi hukum dan penegakan hukum menjadi penting dilakukan. Secara ringkas dan padat, Satjipto Rahardjo (alm) merangkum sikap kritis, kreatif, dan inovatif dalam penegakan hukum (termasuk pemberantasan korupsi) dengan satu kata yaitu ”progresif”. Dalam alur pikir dan semangat yang ”progresif” itulah, kita perlu memberikan dukungan penuh kepada KPK yang telah melangkah dengan penahanan terhadap 19 dari 26 tersangka korupsi kolektif (para anggota DPR periode 1999-2004).


 "sumber corat-coret ane kuliah"

Senin, 06 Juni 2011

yel-yel noBar INTER


                                                                 






                                                           


Nerazzurri Alè' Alè'

Nerazzurri Alè' Alè'
Nerazzurri Alè'
Nerazzurri Alè' Alè'
Nerazzurri Alè'
Tutti Insieme



Lo Sai Dicono Che

Lo Sai
Dicono Che
Per Amor Tuo
Io Son Teppista
Faro'
Di Modo Che
La Faccia Mia
Non Sia Mai Vista
Andro'
Dove Il Mio Cuor
Mi Portera'
Senza Paura' Faro'
Quel Che Potro
Per La Mia INTER



Chi Noi Siamo

La Gente Vuol Sapere
Chi Noi Siamo
Glielo Diciamo
Chi Noi Siamo
Siamo L'Armata Nerazzurra
E Mai Nessun Ci Fermera'
Noi Saremo Sempre Qua
Quando L'INTER Giochera'
Perche' L'INTER E' La Squadra Degli Ultra'
Nerazzurro E' Il Colore Che Amiamo
Nerazzurro Sei Tutto Per Noi
A S.Siro, In Italia, In Europa
Sei La Fede Di Noi Tuoi Ultras
LALALALLALALALALALA.....



Ole' INTER

INTER 7x
Ole' Ole' Ole' Ole'
INTER INTER



Sempre Con Voi

Siamo Sempre Con Voi
Siamo Sempre Con Voi
Siamo Sempre Con Voi
Non Vi Lasceremo Mai
Forza INTER e-eh
Forza INTER o-oh
Forza INTER e-eh
Forza INTER Alè' Alè'



Nerazzurro è

Nerazzurro èèèè la cosa che nasce dentro di meeeee...
Neroblu sono i colori che amiamo noi...
non ci fermerete mica voi...
BASTARDI!!!



Milano Siamo Noi

Milano Siamo Noi
Milano Siamo Noi
Milano Siamo Noi
Solo Noi



Eo Bastardo Bianconero

Eeeooo Bastardo Bianconero 3x



INTER Alè'

Alè' Alè' Alè' INTER Alè'
Alè' Alè' Alè' INTER Alè'
Alè' Alè' Alè'
Alè' Alè' Alè'
Alè' Alè' Alè' INTER Alè'
OOOOOOO..... 2X
OOO..OOOO.. OOOOOO....



Chi Non Salta Rossonero è

Chi Non Salta Rossonero è 5x



Diego Milito

è facci un Goal! chiede!
è facci un Goal! chiede!
Diego Milito facci un Goal!
Ed è la nord che te lo chiede!
Diego Milito Facci un Goal!



Maicon

Quanto è forte Maicon 5x



Samuel Eto'o
samuel etoo 2x
samuel 2x
samuel etoo



Forza INTER Facci Un Gol

Dai Forza INTER Facci Un Gol.. Solo Per Noi
Dai Forza INTER Facci Un Gol.. Solo Per Noi
E Dalla Curva Si Alzera', Un Grido
Magica INTER, Facci Sognare..



Insieme A Noi
Insieme A Noi
Insieme A Noi
Forza INTER Vinci E Lotta Insieme A Noi
Insieme A Noi
Insieme A Noi
Forza INTER Vinci E Lotta Insieme A Noi



Ivan Cordoba
Ivan Cordoba la la la la la 
Ivan Cordoba la la la la la la 
Ivan Cordoba la la la la la 
Ivan Cordoba la la la la la la



Javier Zanetti 1

Tra i nerazzurri c'e 
Un giocatore che
Dribbla come Pele
Vai Zanetti alee eh o!



Javier Zanetti 2
Zanetti capitano ooh ooh
Zanetti capitano ooh ooh



Salutate La Capolista

Salutate La Capolista 5X




"sumber : Inter Club Indonesia"