HUKUM PIDANA KHUSUS
“Analisis dan Solusi Masalah Korupsi di Indonesia dalam perspektif teori
Sistem Hukum Lawrence Friedman”
SANDRA SAPUTRA
( 09 410 341 )
Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2011
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………………….i
Kata
Pengantar........................................................................................ii
Daftar Isi…………………………………………………………….......iii
Pendahuluan…………………………………………………………...
Pembahasan..................………………………………………………..
Penutup.....……………………………………………………………..
KATA PENGANTAR
Assalamu`alaikum Wr.Wb
Puji syukur ke hadirat Allah SWT karena
atas ijin-Nya jua maka saya dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul
“ MENGANALISIS dan MENCARI SOLUSI MASALAH KORUPSI di INDONESIA menurut Teori
LAURENCE FRIEDMAN
Maksud dari pembuatan makalah ini selain
memenuhi tugas mata kuliah Hukum
Pidana Khusus adalah memberi informasi kepada pembaca mengenai Analisis dan Solusi Masalah Korupsi di Indonesia.
Terimakasih kepada dosen pengampu mata
kuliah Hukum Pidana Khusus
Muh. Abdul Kholiq ,SH., M.Hum.
atas kritik dan saran sehingga makalah ini sesuai dengan yang diharapkan. Tak lepas pula ucapan terimakasih saya
pada teman satu kelas
saya atas pendapatnya dan segala bantuanya.
Wassalamu`alaikum Wr.Wb
PENDAHULUAN
Hukum adalah suatu sistem,
yaitu sistem norma-norma. Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum atau
sistem norma-norma, Sebagai sebuah sistem, hukum pidana memiliki sifat umum
dari suatu sistem yaitu menyeluruh (wholes), memiliki beberapa elemen (elements), semua elemen saling
terkait(relations) dan kemudian membentuk struktur (structure).Lawrence M. Friedman menyebutkan sistem hukum
dalam arti luas dengan tiga elemen yaitu struktural (structure), substansi(substance) dan budaya hukum (legal culture). Ketiga elemen tersebut
saling mempunyai korelasi erat. Lawrence M. Friedman lebih lanjut
mendeskripsikan ketiga elemen sistem hukum tersebut diumpamakan sebuah mesin
dimana budaya hukum sebagai bahan bakar yang menentukan hidup dan matinya mesin
tersebut. Konsekuensi aspek ini maka budaya hukum begitu urgen sifatnya. Oleh
karena itu, tanpa budaya hukum, sistem hukum menjadi tidak berdaya, seperti
seekor ikan mati yang terkapar di dalam keranjang, bukan seperti seekor ikan
hidup yang berenang di lautan.
n Komponen Sistem Hukum
1. Substansi Hukum :
Norma-norma hukum (peraturan, keputusan) yang
dihasilkan dari produk hukum
2. Struktur Hukum :
Kelembagaan yang diciptakan sistem hukum yang
memungkinkan pelayanan dan penegakan
hukum
3. Budaya Hukum :
Ide-ide, sikap, harapan, pendapat, dan nilai-nilai yang
berhubungan dengan hukum (bisa positip
/ negatip).
Q
PEMBAHASAN
Substansi
hukum
Substansi hukum (legal substance)
dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang memberi kontribusi besar
mengguritanya praktik korupsi. Hal itu terjadi karena substansi hukum
direkayasa untuk memudahkan melakukan korupsi. Tidak hanya itu, substansi hukum
juga dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan mereka yang tersangkut
korupsi mengelak dari jeratan hukum. Cara paling sederhana, membuat norma hukum
yang tidak jelas atau kabur.
Substansi hukum yang
kabur itu tidak hanya memudahkan melakukan korupsi, tetapi juga memberikan kesempatan
yang luas kepada penegak hukum untuk ”menggorengnya” sesuai kepentingan masing-
masing. Bagi penegak hukum yang bekerja demi kepentingan penegakan hukum,
aturan yang tidak jelas dapat digunakan untuk menjerat pelaku korupsi yang
memanfaatkan aturan hukum yang tidak jelas itu. Sementara bagi penegak hukum
yang ingin meraih keuntungan finansial, substansi hukum yang demikian akan
diperdagangkan dengan mereka yang tersangkut kasus korupsi.
Berkaca dari kasus suap
dengan Artalyta dan kejadian yang menimpa Glenn Yusuf, jaksa Urip benar-benar
”menggoreng” kasus BLBI untuk menuai keuntungan finansial. Meski belum tentu
tindakan itu dilakukan jaksa Urip untuk kepentingan diri sendiri. Namun dapat
dipastikan, keberanian jaksa Urip muncul karena ia tahu persis kelemahan
substansi hukum dalam perkara BLBI.
Salah satu substansi
hukum yang potensial dan sering diperdagangkan penegak hukum adalah adanya
peluang untuk menghentikan penyidikan perkara (SP3). Mencermati kasus BLBI,
penghentian sejumlah perkara dilakukan karena alasan tidak cukup bukti. Setelah
kasus suap jaksa Urip dan Artalyta terungkap ke permukaan, alasan tidak cukup
bukti sulit diterima sebagai penghentian kasus BLBI.
Dari penjelasan itu,
terkuaknya penyimpangan yang dilakukan penegak hukum dalam pemberantasan
korupsi dipicu oleh kelemahan substansi hukum. Kelemahan itu dimanfaatkan
secara bersama-sama oleh koruptor dan penegak hukum untuk membangun relasi
simbiosis mutualisme. Karena itu, amat jarang pelaku korupsi dijatuhi pidana
maksimal. Sampai sejauh ini, mungkin hanya sepak terjang KPK yang mampu sedikit
mengkhawatirkan koruptor.
Langkah
progresif
Untuk keluar dari jerat
korupsi yang menggurita, harus dimulai langkah-langkah progresif berupa
pembenahan substansi hukum, shock therapy bagi penegak hukum dan pelaku tindak
pidana korupsi.
Untuk substansi hukum,
diperlukan political will untuk mereformasi semua aturan yang memudahkan
terjadinya tindak pidana korupsi. Melihat aturan hukum yang ada, tidak mungkin
menghambat laju praktik korupsi yang telah menghancurkan sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan negara. Bagaimanapun, menunda reformasi substansi hukum sama
dengan mempercepat negeri ini masuk jurang kehancuran.
Sementara itu, penegak
hukum yang memperdagangkan perkara korupsi harus diberi shock-therapy dengan
menjatuhkan hukuman maksimal. Untuk itu, dengan tingkat perbuatan yang begitu
memalukan, orang seperti jaksa Urip harus dihukum pidana maksimal. Memberikan
hukuman ringan kepada penegak hukum yang memperdagangkan kasus korupsi tentu
tidak akan memberi efek jera.
Khusus untuk pelaku
korupsi, usulan memberi tanda ”EK” (eks koruptor) di KTP atau dengan
mengucilkan dalam pergaulan masyarakat masih jauh dari cukup. Langkah progresif
lain yang harus dilakukan, misalnya, bagi yang sedang dalam proses hukum, dalam
setiap penampakan ke publik (seperti hadir dalam persidangan) harus memakai
pakaian tahanan. Selain itu, bagi yang sudah dinyatakan bersalah dan dijatuhi
hukuman tidak lagi diberi fasilitas pengurangan hukuman. Mereka harus
menjalankan hukuman penuh sesuai putusan pengadilan.
Saya percaya, tanpa
langkah progresif, negeri ini tidak akan pernah keluar dari jeratan korupsi.
Bagian dari sejarah negeri ini menceritakan kepada kita, VOC hancur karena
korupsi. Apakah kita sedang membiarkan sejarah itu berulang?
1.
STRUKTUR HUKUM
Komponen yang disebut
dengan struktur adalah kelembagaan diciptakan oleh sistem hukum seperti
pengadilan negeri, pengadilan administrasi, yang mampunyai fungsi untuk
mendukung bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen tersebut memungkinnya
adanya pelayanan dan pelaksanaan hukum secara teratur. Kondisi sekarang ini
terjadi penurunan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat dan dunia internasional
terhadap badan peradilan. Keadaan badan
peradilan yang demikian tidak dapat dibiarkan berlangsung secara terus menerus
perlu dilakukan upaya progresif dan renponsif untuk menanggulangi hal tersebut.
Penurunan kepercayaan dan kewibawaan peradilan
dikarenakan lemahnya kepemimpinan manajemen perkara, lemahnya pengawasan
internal, rendahnya kredibilitas hakim, rendahnya integritas dan
profesionalitas hakim. Seperti diketahui bersama bahwa belum lama ini Artalyta
Suryani (Ayin) divonis lima tahun penjara oleh pengadilan yang memeriksanya
terkait dengan kasus suap, menurut penulis hal tersebut tidak sebanding dengan
kejahatan dan kerugian yang dialami negara, sebelum itu juga terdapat
permasalahan di lingkungan Mahkamah Agung yaitu kasus suap Probosutedjo, namun
kasus tersebut sangat sulit dibuktikan bahkan tidak dapat menjerat ketua MA Bagir
Manan, ataupun putusan bebas Akbar Tandjung, dan kemungkinan juga perkara yang
diperiksa diluar kemampuan hakim yang dikeranakan kompleksitas perkaradan
juga terdapat kelemahan (Weakness) lembaga kehakiman adalah manajemen
pengelolaan modal tenaga intelektual belum berjalan baik termasuk rekrutmen dan
juga promosi hakim yaitu belum adanya penyaringan tenaga hakim yang cerdas
jujur dan beraniUntuk mengatasi hal tersebut haruslah
terdapat suatu reformasi lembaga peradilan yang melibatkan beberapa aspek yaitu
perubahan administrasi hakim dan pembenahan kualitas hakim.
Penting
melakukan reformasi yang mendasar terhadap sistem peradilan, tidak saja
menyangkut penataan kelembagaan (institutional reform) ataupun
menyangkut mekanismeaturan yang bersifat instrumental (instrumental
atau procedural reform), tetapi juga menyangkut personalitas dan
budaya kerja aparat peradilan serta perilaku hukum masyarakat yang cenderung
kurang optimal.
Faktor
lain yang yang perlu diperlihatkan dalam upaya pembangunan penegakan hukum yang
akuntabel adalah proses rekrutmen personel penegak hukum yang dalam hal ini
adalah hakim. Penegakan hukum yang akuntabel juga menyangkut the scientific
investigation of legal problem, maka dari itu diperlukan penegak hukum yang
memiliki insting yuridis yang tajam dalam segala kebutuhan masalah hukum dan
menyelesaikannya secara cepat, tepat, adil dalam rangka mewujudkan peradilan
yang murah, cepat dan tentunya adil. Sehingga tidak menimbulkan justice
denied. Bisa juga proses penyelesaian kasus hukum secara berkualitas
menuntut adanya pendidikan berkelanjutan Continuing Legal Education
(CLE) bagi para penegak hukum.
Dalam
menyelesaikan kasus korupsi sebagai extra ordinary crime bukanlah
mudah bila mengacu ataupun menggunakan sistem hukum yang ada sekarang ini, dan
pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan dengan cara yang tidak biasa
ataupun dengan kebijakan integral baik itu penal maupun non penal dengan
memperhatikan faktor kriminogen terbentuknya suatu kejahatan misalnya
keberanian hakim untuk menggunakan asas pembuktian terbalik dan asas
peradilan in absentia karena sistem peradilan yang sekarang
ini ataupun hukum positif sekarang kurang dapat menjerat dan mengatasi
persoalan yang akan dihadapi sehingga dibutuhkan suatu pemikiran progresif yaitu
dengan memperhatikan faktor-faktor non yuridis dalam penegakan hukum.
Penegakan
hukum Progresif menjadi prioritas alternatif yang wajib digunakan dalam
penanggulangan kasus seperti kasus korupsi. Karena penaggulangan seperti
sekarang ini adalah bersifat sistemik dan cenderung statis serta
monoton sehingga Indonesia akan menjadi surga bagi pelaku kejahatan. Dalam
penegakan hukum yang progresif memerlukan adanya penegak hukum yang mempunya
integritas tinggi berserta moral yang baik. Hakim Amerika mengatakan” berikan
aku penegak hukum yang baik dan dengan Undang-Undang yang buruk niscaya
keadilan akan tercapai”, lebih dari itu juga dituntut adanya ideologi penegak
keadilan yang berorientasi nilai keadilan.
BUDAYA HUKUM
(LEGAL CULTURE)
•
Hukum bukan sekedar
alat yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu, tetapi merupakan perangkat
tradisi, obyek pertukaran nilai yang tidak netral dari pengaruh sosial dan
budaya
•
Hukum harus dilihat
sebagai suatu sistem yang utuh.
•
Pengertian Sistem :
a. Berorientasi pada satu tujuan
b. Lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagian
c. Berinteraksi dengan sistem lain yang lebih besar
d. Bekerjanya bagian-bagian menciptakan sesuatu
yang berharga.
•
Secara Sosiologis :
hukum sebagai sistem nilai yang merupakan sub sistem dari sistem sosial (T.
Parsons)
•
Budaya : Berfungsi
sebagai kerangka normatif dalam kehidupan manusia à menentukan perilaku
•
Budaya berfungsi
sebagai sitem perilaku
•
Budaya hukum sangat
mempengaruhi efektifitas berlaku dan keberhasilan penegakan hukum
•
Hukum merupakan
konkretisasi nilai-nilai sosial yang terbentuk dari kebudayaan
•
Kegagalan hukum
modern seringkali karena tidak compatible dengan budaya hukum masyarakat (Misal
: UU PemDes 9/1975).
•
Budaya Hukum :
a. Internal Legal Culture : kultur yang dimiliki
oleh struktur hukum
b. External Legal Culture : kultur hukum
masyarakat pada umumnya
Mengubah kultur hukum yang berkarakter individual-liberal
menjadi kolektivtas-sosial-religius disadari bukan pekerjaan mudah dan ringan
untuk bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Mengubah kultur hukum senantiasa
harus paham tentang nilai-nilai, tradisi, kebiasaan, dan segala sikap dominan
yang umumnya berlaku dalam segala aspek kehidupan. Kompleksitas kehidupan dan
derasnya nilai-nilai Barat yang merasuk lewat arus globalisasi menjadikan
nilai-nilai domestik tergerus dan termarginalkan, bahkan hilang dari sanubari
terdalam warga negara dan bangsa.
Tiada cara yang lebih efektif untuk penyadaran
masalah penanaman nilai-nilai kolektivitas-sosial-religius itu kecuali dengan
pendidikan budi pekerti, karakter, agama, dan nasionalisme. Agenda akademik dan
pedagogik sudah tentu amat penting untuk masa depan dalam rangka pencegahan
terhadap meluasnya wabah korupsi pada generasi penerus. Tetapi, untuk situasi
yang telah telanjur berantakan saat ini, tentu dibutuhkan agenda aksi yang
tegas dan nyata (affirmative action). KPK telah mengawali, memberi contoh
sekaligus menunjukkan komitmennya dalam pemberantasan korupsi secara tegas dan
nyata. Belum lama ini, para tokoh lintas agama, para tokoh lembaga swadaya
masyarakat (LSM), forum rektor, dan berbagai elemen masyarakat telah bergeliat
memberikan dukungan dan merapatkan barisan untuk bersama-sama memerangi korupsi
kolektif.
Retorika politik di berbagai media dengan berkilah
dan pernyataan berputarputar, selain terkesan defensif, juga tidak
menyelesaikan masalah, justru semakin memicu kemarahan massa. Kalau memang,
para politisi, advokat, jajaran kepolisian, dan kejaksaan tidak sanggup ikut
serta dalam barisan perang antikorupsi, lebih baik minggir atau mundur untuk
memberi jalan lapang bagi kelancaran dan kesuksesan pemberantasan korupsi.
Jangan menghalang- halangi dan jangan menjadi duri
dalam daging bangsa sendiri. Awas, menghalang-halangi bisa dipersepsikan
sebagai bagian dari mafioso dan akan digilas pula oleh tank-tank
antikorupsi.(*)
Dilihat dari awal mula kejadiannya, semua jenis kejahatan
(termasuk korupsi) selalu dimulai dari pelanggaran hukum di bidang keuangan
yang kuantitasnya kecil dan kualitasnya rendah. Virus-virus kejahatan demikian
itu akan segera menjadi besar dan mewabah apabila didukung oleh situasi
lingkungan yang serbamiskin (terutama miskin iman), permisif, dan kontrol hukum
yang lemah.Kultur hukum kita akhir-akhir ini cenderung kuat menunjukkan ada
situasi yang serba negatif itu. Berlakulah pepatah Jawa ”kriwikan dadi
grojogan”, artinya dari kejahatan kecil per individu dengan cepat menjadi
kejahatan besar (kolektif).
Kini, korupsi itu sudah merupakan kejahatan
kolektif. Bahasa hukum menyebutnya sebagai extraordinary crime. Korupsi bukan
lagi merupakan kejahatan biasa dan bersifat per individu, melainkan telah menjelma
sebagai kejahatan luar biasa yang bersifat kolektif. Syed Hussein Naser (1968)
menyebut perkembangan korupsi yang sedemikian meluas itu sebagai widespread,
deeply rooted. Apabila perkembangan itu tidak bisa dihentikan dengan
pemberantasan secara tuntas, dipastikan tinggal selangkah lagi sampai pada
kehancuran masyarakat, bangsa, dan negara.
KESIMPULAN
Kita sudah tentu sangat khawatir dan risau dengan
kegagalan pemberantasan korupsi selama ini. Dari aspek hukum terlihat sekali
bahwa metode konvensional pemberantasan korupsi dengan bertumpu kepada
teks-teks dan prosedur yang tertulis dalam perundang- undangan (hukum positif)
ternyata sangat mudah dipatahkan oleh mafioso untuk meloloskan diri dari
jeratan hukum. Pengalaman pedih seperti itu mestinya cukup memberikan pelajaran
bagi kita, khususnya para aparat penegak hukum untuk segera menemukan metode
lain yang juga tergolong extraordinary.
Sudah tentu, metodenya pun harus tergolong luar
biasa. Ini baru ada korespondensi dan benar menurut logika hukum. Metode
penegakan hukum yang kita pilih harus lebih unggul dan bisa mengatasi
perkembangan korupsi itu sendiri. Jangan sampai aparat penegak hukum
terbirit-birit jauh tertinggal dari gesit dan lincahnya lari para koruptor.
Kita wajib menemukan metode baru yang antisipatif sekaligus represif terhadap
perkembangan korupsi. Penegakan hukum dalam rangka pemberantasan korupsi harus
dilakukan dengan sikap kritis, kreatif, dan inovatif. Sikap kritis diperlukan
tertuju kepada doktrin-doktrin hukum individual-liberal yang masih kuat
mengakar pada hukum pidana. Dari sikap kritis itu diharapkan muncul keberanian
untuk melakukan dekonstruksi ke arah doktrin baru yang berkarakter
kolektivitas-sosial-religius.
Kita wajib mencegahnya. Inovasi hukum dan
penegakan hukum menjadi penting dilakukan. Secara ringkas dan padat, Satjipto
Rahardjo (alm) merangkum sikap kritis, kreatif, dan inovatif dalam penegakan
hukum (termasuk pemberantasan korupsi) dengan satu kata yaitu ”progresif”.
Dalam alur pikir dan semangat yang ”progresif” itulah, kita perlu memberikan
dukungan penuh kepada KPK yang telah melangkah dengan penahanan terhadap 19
dari 26 tersangka korupsi kolektif (para anggota DPR periode 1999-2004).
"sumber corat-coret ane kuliah"